Laman

Permen Nomor 7 Tahun 2010

SALINAN
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 7 TAHUN 2010
TENTANG
PEMENUHAN KEBUTUHAN, PENINGKATAN PROFESIONALISME,
DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN GURU,
KEPALA SEKOLAH/MADRASAH, DAN PENGAWAS
DI KAWASAN PERBATASAN DAN PULAU KECIL TERLUAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka kebijakan pemberian layanan pendidikan secara bertahap dan berkelanjutan di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar perlu memenuhi kebutuhan, meningkatkan profesionalisme, dan meningkatkan kesejahteraan guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pemenuhan Kebutuhan, Peningkatan Profesionalisme, dan Peningkatan Kesejahteraan Guru, Kepala Sekolah/Madrasah, dan Pengawas di Kawasan Perbatasan dan Pulau Kecil Terluar;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
2
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4941);
7. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
8. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PEMENUHAN KEBUTUHAN, PENINGKATAN PROFESIONALISME, DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN GURU, KEPALA SEKOLAH/MADRASAH, DAN PENGAWAS DI KAWASAN PERBATASAN DAN PULAU KECIL TERLUAR.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional ini yang dimaksud dengan:
1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Kepala sekolah/madrasah adalah kepala satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah termasuk pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai pimpinan pengelolaan sekolah/madrasah.
3. Pengawas adalah pengawas satuan pendidikan formal, pengawas mata pelajaran atau pengawas kelompok mata pelajaran yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab pengawasan meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan.
3
4. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
5. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan.
6. Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.
7. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
8. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru.
9. Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah perjanjian tertulis antara guru dengan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
10. Pemerintah adalah pemerintah pusat.
11. Pemerintah daerah adalah pemerintah propinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
12. Kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan.
13. Pulau kecil terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu kilometer persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum Internasional dan Nasional.
Pasal 2
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan penyelenggara pendidikan sesuai kewenangannya melakukan pemenuhan kebutuhan guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar.
(2) Pemenuhan kebutuhan guru dan kepala sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan guru dan kepala sekolah/madrasah, baik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat.
(3) Analisis kebutuhan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi variabel:
a. rasio guru dan peserta didik;
b. sebaran guru; dan
c. proyeksi pemenuhan beban kerja guru paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
(4) Analisis pemenuhan kebutuhan kepala sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
a. pembangunan sekolah/madrasah baru; atau
4
b. pengangkatan kepala sekolah/madrasah baru untuk menggantikan kepala sekolah/madrasah yang telah selesai masa jabatannya, mutasi, berhalangan tetap, atau meninggal dunia.
Pasal 3
(1) Pemenuhan kebutuhan guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dengan pemerataan guru, pengangkatan guru baru, dan/atau pemenuhan kebutuhan guru dengan cara optimalisasi guru.
(2) Pemerintah kabupaten/kota melakukan pemerataan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memindahkan guru dari satuan pendidikan yang berkelebihan guru ke satuan pendidikan yang berkekurangan di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar dalam 1 (satu) kabupaten/kota.
(3) Pemerintah melakukan pemerataan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memindahkan guru dari satuan pendidikan yang berkelebihan guru ke satuan pendidikan yang berkekurangan di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar, baik dalam 1 (satu) kabupaten/kota, antarkabupaten/kota, maupun antarprovinsi.
(4) Optimalisasi guru dilakukan dengan menugaskan guru mengajar pada beberapa kelas atau beberapa mata pelajaran pada satuan pendidikan yang mempunyai jumlah siswa yang kurang dari batas minimal rasio guru dan peserta didik.
Pasal 4
Pemenuhan kebutuhan guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan secara bertahap sampai dengan tahun 2014.
Pasal 5
(1) Pemenuhan kebutuhan pengawas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar dilakukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan pengawas sesuai dengan jumlah satuan pendidikan atau jumlah guru mata pelajaran pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat.
(2) Analisis kebutuhan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kondisi geografis untuk keterlaksanaan tugas pengawasan secara efektif;
b. jumlah, besaran, dan jenis sekolah binaan;
c. jumlah dan sebaran guru yang mengampu mata pelajaran.
Pasal 6
(1) Analisis kebutuhan guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) di kabupaten/kota dilakukan oleh dinas pendidikan, kantor Kementerian Agama, dan penyelenggara pendidikan yang dikoordinasikan oleh dinas pendidikan.
(2) Analisis kebutuhan guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) secara nasional dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan penyelenggara pendidikan yang dikoordinasikan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
5
Pasal 7
Pemenuhan kebutuhan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan dengan pemerataan pengawas dan/atau pengangkatan pengawas baru.
Pasal 8
(1) Pemerintah atau pemerintah provinsi dapat menugaskan guru, kepala sekolah/madrasah, dan/atau pengawas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar apabila pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan tidak dapat memenuhi guru, kepala sekolah/madrasah dan/atau pengawas yang dibutuhkan dengan biaya dari kabupaten/kota tempat tugas guru, kepala sekolah/madrasah, dan/atau pengawas.
(2) Apabila biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi oleh kabupaten/kota yang bersangkutan, Pemerintah memfasilitasi pembiayaan tersebut.
(3) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya menyediakan biaya/sarana transportasi dan biaya operasional yang relevan bagi pengawas untuk melaksanakan tugas pengawas.
Pasal 9
(1) Guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang ditugaskan di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar wajib menandatangani pernyataan kesediaan bertugas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar paling sedikit 2 (dua) tahun secara terus menerus.
(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang telah bertugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak pindah tugas setelah tersedia guru pengganti.
(3) Pemindahan guru dan kepala sekolah/madrasah di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar yang diangkat oleh penyelenggara atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik atas permintaan sendiri maupun penugasan dari penyelenggara, dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Pasal 10
(1) Guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang bertugas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar memperoleh prioritas program peningkatan kualifikasi akademik ke S1/D-IV, sertifikasi pendidik, dan peningkatan kompetensi.
(2) Pengawas yang bertugas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK atau yang sederajat memperoleh prioritas program peningkatan kualifikasi akademik ke S2 sesuai dengan kemampuan Pemerintah atau pemerintah daerah.
(3) Peningkatan kualifikasi akademik ke S1/D-IV dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak meninggalkan tugas.
6
(4) Peningkatan kualifikasi akademik ke S1/D-IV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapat bantuan biaya pendidikan dan/atau beasiswa dari Pemerintah atau pemerintah daerah.
(5) Pelaksanaan proses pembelajaran untuk peningkatan kualifikasi akademik guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang bertugas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar dilakukan dengan sistem pembelajaran jarak jauh, tatap muka, atau dengan cara lain.
(6) Sistem pembelajaran tatap muka, atau dengan cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh perguruan tinggi yang ditunjuk oleh Menteri.
(7) Peningkatan kualifikasi akademik ke S1/D-IV bagi guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan sistem pengakuan atas pengalaman kerja dan hasil belajar (PPKHB).
(8) Guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang bertugas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar yang menempuh program peningkatan kualifikasi akademik ke S1/D-IV wajib menandatangani surat pernyataan untuk tetap bertugas pada satuan pendidikan yang bersangkutan untuk kurun waktu paling sedikit 2 (dua) kali lama belajar.
Pasal 11
(1) Peningkatan kompetensi profesional guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar dilakukan secara berkelanjutan.
(2) Peningkatan kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembinaan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
(3) Peningkatan kompetensi kepala sekolah/madrasah selain melakukan peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga melakukan peningkatan kompetensi manajerial, kompetensi supervisi, dan kompetensi kewirausahaan.
(4) Peningkatan kompetensi pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peningkatan kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi akademik, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan, dan kompetensi sosial.
(5) Program peningkatan kompetensi profesional guru, kepala sekolah/madrasah, pengawas secara berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Kelompok Kerja Kepala Sekolah/Madrasah (KKKS/KKKM), Musyawarah Kerja Kepala Sekolah/Madrasah (MKKS/MKKM), Kelompok Kerja Pengawas (KKPS/KKPM), Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah/Madrasah (MKPS/MKPM), Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS), lembaga pendidikan dan pelatihan, atau program lain yang sesuai.
(6) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan, melaksanakan, dan memfasilitasi program peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) secara menyeluruh.
7
Pasal 12
(1) Guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang bertugas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar yang telah memenuhi persyaratan diberi prioritas untuk mengikuti sertifikasi.
(2) Pelaksanaan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui sistem penilaian portofolio dan/atau Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG).
Pasal 13
(1) Guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang ditugaskan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah di satuan pendidikan di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar berhak memperoleh tunjangan khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Guru yang bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dan yang mendapatkan persetujuan Pemerintah atau pemerintah daerah berhak memperoleh tunjangan khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(4) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang melaksanakan kewajibannya dan memenuhi beban kerjanya sesuai ketentuan perundang-undangan.
Pasal 14
(1) Guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dan bertugas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya.
(2) Rumah dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi standar kelayakan huni dan digunakan selama guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang bersangkutan bertugas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar.
(3) Rumah dinas bagi guru dan kepala sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdekatan dengan satuan pendidikan tempat tugas yang bersangkutan.
(4) Rumah dinas bagi pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di kawasan perbatasan atau pulau kecil terluar yang memudahkan pengawas menjangkau sekolah-sekolah binaannya.
(5) Hak menempati rumah dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dicabut apabila guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya atau yang bersangkutan ditugaskan pada daerah lain atau jabatan lain.
8
Pasal 15
(1) Guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang bertugas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar berhak atas fasilitas telekomunikasi yang disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Fasilitas telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi milik sekolah dan berada dibawah tanggung jawab sekolah.
Pasal 16
Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya memberi beasiswa kepada putra/putri guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar yang menjadi peserta didik program sarjana atau diploma di perguruan tinggi.
Pasal 17
Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya memfasilitasi asuransi kesehatan kepada guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar.
Pasal 18
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menyediakan pembiayaan dalam APBN atau APBD dan dapat mengupayakan sumber-sumber lain yang sah untuk peningkatan kompetensi, peningkatan kualifikasi akademik, bantuan rumah dinas, fasilitas komunikasi, beasiswa putra/putri guru, asuransi bagi guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang bertugas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar.
(2) Pemerintah menyediakan pembiayaan dalam APBN untuk memberikan tunjangan khusus bagi guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang bertugas di kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar.
Pasal 19
Apabila biaya sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) dan pemenuhan rumah dinas sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) tidak dapat dipenuhi pemerintah daerah, Pemerintah memfasilitasi pembiayaan dan rumah dinas tersebut paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 20
Guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian kerja mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2010
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
MOHAMMAD NUH
Salinan sesuai dengan aslinya.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
Dr. A. Pangerang Moenta,S.H.,M.H.,DFM
NIP 196108281987031003

Permen Nomor 9 Tahun 2010

SALINAN
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2010
TENTANG
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI GURU BAGI GURU DALAM JABATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang
:
a. bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi;
b. bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh Pemerintah;
c. bahwa dalam rangka memberi peluang kepada guru dalam jabatan untuk memperoleh sertifikat pendidik melalui pendidikan profesi, perlu mengatur program pendidikan profesi guru bagi guru dalam jabatan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Program Pendidikan Profesi Guru Bagi Guru Dalam Jabatan;
- 2 -
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4941);
5. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI GURU BAGI GURU DALAM JABATAN.
Pasal 1 Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.
2. Program Pendidikan Profesi Guru bagi Guru Dalam Jabatan yang selanjutnya disebut program Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik.
3. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program PPG pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
4. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional.
5. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional.
- 3 -
Pasal 2 Program PPG bertujuan untuk menghasilkan guru profesional yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; menindaklanjuti hasil penilaian dengan melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik; dan mampu melakukan penelitian dan mengembangkan keprofesian secara berkelanjutan. Pasal 3
(1) Program PPG diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan oleh Menteri.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. memiliki program studi kependidikan strata satu (S-1) yang:
1) sama dengan program PPG yang akan diselenggarakan;
2) terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dengan nilai minimal B;
3) memiliki dosen tetap sekurang-kurangnya 2 (dua) orang berkualifikasi doktor (S3) dengan jabatan akademik paling rendah Lektor, dan 4 (empat) orang berkualifikasi Magister (S2) dengan jabatan akademik paling rendah Lektor Kepala berlatar belakang pendidikan sama dan/atau sesuai dengan program PPG yang akan diselenggarakan;
4) Dosen tetap sebagaimana dimaksud pada angka 3) minimal salah satu latar belakang pendidikannya adalah bidang kependidikan.
b. memiliki sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan untuk menunjang penyelenggaraan program PPG;
c. memiliki program peningkatan dan pengembangan aktivitas instruksional atau yang sejenis dan berfungsi efektif;
d. memiliki program dan jaringan kemitraan dengan sekolah-sekolah mitra terakreditasi paling rendah B dan memenuhi persyaratan untuk pelaksanaan program pengalaman lapangan (PPL);
e. memiliki laporan evaluasi diri dan penjaminan mutu berdasar fakta, sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terakhir.
(3) Dalam hal belum ada program studi yang terakreditasi atau dalam hal belum ada program studi yang sesuai dengan mata pelajaran di satuan pendidikan dasar dan menengah, Menteri dapat menetapkan perguruan tinggi penyelenggara PPG untuk bekerjasama dengan perguruan tinggi yang memiliki sumber daya yang relevan dengan program studi tersebut.
- 4 -
(4) Dalam hal tidak ada LPTK yang menyelenggarakan program studi tertentu yang diperlukan, Menteri dapat menetapkan LPTK sebagai penyelenggara PPG untuk bekerjasama dengan perguruan tinggi/fakultas yang memiliki program studi yang sama dengan bidang studi tersebut dan terakreditasi paling rendah B.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Pasal 4
(1) Penetapan LPTK sebagai penyelenggara program PPG didasarkan atas hasil evaluasi dokumen usulan dan verifikasi lapangan yang dilakukan oleh tim yang ditugaskan Direktur Jenderal.
(2) Penetapan LPTK sebagai penyelenggara program PPG dilakukan oleh Menteri untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun.
(3) LPTK penyelenggara program PPG dievaluasi secara berkala oleh tim yang ditugaskan Direktur Jenderal.
Pasal 5 Struktur kurikulum program PPG terdiri atas:
a. pendidikan bidang studi (subject specific pedagogy/SSP) yang mencakup standar kompetensi, materi, strategi, metoda, media, dan evaluasi;
b. program pengalaman lapangan (PPL) kependidikan.
Pasal 6 Bidang keahlian yang ditempuh peserta didik pada program PPG harus berkesesuaian dengan satuan pendidikan atau mata pelajaran yang diampu. Pasal 7
(1) Kualifikasi akademik peserta didik program PPG bagi guru dalam jabatan adalah S-1/D-IV.
(2) Peserta didik yang berasal dari S-1/D-IV yang tidak sesuai dengan satuan pendidikan, mata pelajaran yang diampu dan/atau yang berdasarkan hasil seleksi dan penilaian pengakuan pengalaman kerja dan hasil belajar (PPKHB) belum memenuhi standar, menempuh pendalaman akademik bidang studi dan/atau akademik kependidikan.
(3) Pendalaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan program PPG.
Pasal 8
(1) LPTK penyelenggara melakukan seleksi penerimaan peserta didik program PPG.
(2) Hasil seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh LPTK penyelenggara kepada Direktur Jenderal.
- 5 -
Pasal 9
(1) Kuota jumlah penerimaan peserta didik secara nasional ditetapkan oleh Menteri.
(2) LPTK tidak diperbolehkan menerima peserta didik program PPG di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Setiap peserta didik program PPG diberi Nomor Pokok Mahasiswa (NPM) oleh LPTK yang selanjutnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal.
Pasal 10
(1) Beban belajar program PPG ditetapkan berdasarkan latar belakang pendidikan/keilmuan peserta didik program PPG dan satuan pendidikan tempat penugasan.
(2) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi guru pada satuan pendidikan TK/RA/TKLB atau bentuk lain yang sederajat yang berkualifikasi akademik S-1 PGTK dan PGPAUD, adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester.
(3) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi guru pada satuan pendidikan SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berkualifikasi akademik S-1 PGSD adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester.
(4) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi guru pada satuan pendidikan TK/RA/TKLB atau bentuk lain yang sederajat yang berkualifikasi akademik selain S-1/D-IV Kependidikan selain untuk TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
(5) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi guru pada satuan pendidikan TK/RA/TKLB atau bentuk lain yang sederajat dan pada satuan pendidikan SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berkualifikasi akademik S-1 Psikologi adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
(6) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi guru pada satuan pendidikan SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berkualifikasi akademik S-1/D-IV Kependidikan selain SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
(7) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi guru pada satuan pendidikan SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dan satuan pendidikan SMA/MA/SMALB/SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, baik yang berkualifikasi akademik S-1/D-IV Kependidikan maupun yang berkualifikasi akademik S-1/D-IV Non Kependidikan adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penjabaran beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) ke dalam distribusi mata kuliah sesuai struktur kurikulum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur oleh LPTK yang bersangkutan.
- 6 -
Pasal 11
(1) Sistem pembelajaran pada program PPG mencakup kegiatan workshop SSP, praktikum (peer teaching, micro teaching, bidang studi), dan praktek pengalaman lapangan yang diselenggarakan dengan supervisi langsung secara intensif oleh dosen yang ditugaskan khusus untuk kegiatan tersebut, serta dinilai secara objektif dan transparan.
(2) Workshop SSP, praktikum, dan praktek pengalaman lapangan program PPG dilaksanakan secara tatap muka dan berorientasi pada pencapaian kompetensi merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, menindaklanjuti hasil penilaian, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Pasal 12
(1) Uji kompetensi dalam rangka memperoleh sertifikat pendidik dilaksanakan oleh program studi/jurusan yang dikoordinasikan LPTK penyelenggara program PPG.
(2) Uji kompetensi sebagai ujian akhir terdiri dari ujian tulis dan ujian kinerja, ditempuh setelah peserta lulus workshop SSP dan PPL.
(3) Ujian tulis dilaksanakan oleh program studi/jurusan penyelenggara, sedangkan ujian kinerja dilaksanakan oleh program studi/jurusan dengan melibatkan organisasi profesi dan/atau pihak eksternal yang profesional dan relevan.
(4) Peserta yang lulus uji kompetensi memperoleh sertifikat pendidik yang dikeluarkan oleh LPTK.
Pasal 13
(1) Dosen pada program PPG memiliki kualifikasi akademik paling rendah Magister (S-2), dan minimal salah satu strata pendidikan setiap dosen berlatar belakang bidang kependidikan sesuai dengan bidang studi yang diampunya.
(2) Dosen pada program PPG kejuruan selain memiliki kualifikasi akademik paling rendah Magister (S-2), dan minimal salah satu strata pendidikan setiap dosen berlatar belakang bidang kependidikan sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diampunya, serta diutamakan yang memiliki sertifikat keahlian kejuruan.
Pasal 14 Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 40 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan dinyatakan tidak berlaku.
- 7 -
Pasal 15 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27April 2010
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, TTD MOHAMMAD NUH
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional,
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
Dr. Andi Pangerang Moenta, S.H., M.H., DFM.
NIP 196108281987031003

PP Nomor 43 Tahun 2007

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 2005
TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI
CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan hasil evaluasi atas pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil, beberapa ketentuan mengenai batas usia
dengan masa kerja, proses seleksi dan ketentuan
lainnya, belum dapat menyelesaikan pengangkatan
tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, perlu mengubah beberapa
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2005 dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
3. Undang-Undang . . .
- 2 -
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2005 Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4548);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang
Formasi Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 194,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4015), sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4332);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang
Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 195,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4016), sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4192);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang
Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 15, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4263);
7. Peraturan . . .
- 3 -
7. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4561);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN
2005 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER
MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer
Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4561)
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 3
(1) Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil diprioritaskan bagi yang
melaksanakan tugas sebagai:
a. guru;
b. tenaga kesehatan pada sarana pelayanan
kesehatan;
c. tenaga . . .
- 4 -
c. tenaga penyuluh di bidang pertanian,
perikanan, peternakan; dan
d. tenaga teknis lainnya yang sangat dibutuhkan
pemerintah.
(2) Pengangkatan tenaga honorer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
a. usia paling tinggi 46 (empat puluh enam)
tahun dan paling rendah 19 (sembilan belas)
tahun; dan
b. masa kerja sebagai tenaga honorer paling
sedikit 1 (satu) tahun secara terus menerus.
(3) Masa kerja terus menerus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak berlaku
bagi dokter yang telah selesai menjalani masa
bakti sebagai pegawai tidak tetap.
Pasal 4
(1) Pengangkatan tenaga honorer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan melalui
pemeriksaan kelengkapan administrasi.
(2) Pengangkatan tenaga honorer yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diprioritaskan bagi tenaga honorer yang
mempunyai masa kerja lebih lama atau yang
usianya menjelang 46 (empat puluh enam) tahun.
Pasal 5 . . .
- 5 -
Pasal 5
(1) Dokter yang telah selesai atau sedang
melaksanakan tugas sebagai pegawai tidak tetap
atau sebagai tenaga honorer pada sarana
pelayanan kesehatan milik pemerintah, dapat
diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
setelah melalui pemeriksaan kelengkapan
administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1), tanpa memperhatikan masa bakti
sebagai pegawai tidak tetap atau masa kerja
sebagai tenaga honorer, dengan ketentuan:
a. usia paling tinggi 46 (empat puluh enam)
tahun; dan
b. bersedia bekerja pada daerah dan/atau sarana
pelayanan kesehatan terpencil atau tertinggal
paling kurang 5 (lima) tahun.
(2) Sarana pelayanan kesehatan di daerah terpencil
atau di daerah tertinggal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Bupati atau
Walikota setempat berdasarkan kriteria yang
diatur oleh Menteri Kesehatan.”
2. Penjelasan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi menjadi
sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal 6.
3. Ketentuan Pasal 10 dihapus.
4. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 11 . . .
- 6 -
“Pasal 11
Biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan
pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Pemerintah ini,
dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi
tenaga honorer di instansi pusat; dan
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bagi
tenaga honorer di instansi daerah.”
5. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 13A berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 13A
Peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pengangkatan dokter dan bidan sebagai
pegawai tidak tetap yang berlaku sebelum
ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil, sepanjang belum diganti
dengan peraturan perundang-undangan, dinyatakan
tetap berlaku.”
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 7 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 91
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 2005
TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI
CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
I. UMUM
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005
tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil, Pemerintah telah melakukan pendaftaran terhadap semua tenaga
honorer dan telah dilaksanakan pengisian daftar pertanyaan.
Selanjutnya, Pejabat Pembina Kepegawaian telah mengangkat sebagian
tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya
untuk mengisi formasi yang lowong dalam tahun anggaran 2005.
Berdasarkan hasil evaluasi atas pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tersebut dan untuk kelancaran
pelaksanaan dan penyelesaian pengangkatan tenaga honorer menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil, perlu mengubah beberapa ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah dimaksud.
Pada prinsipnya beberapa ketentuan yang diubah dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005, antara lain mengenai
penentuan usia yang dikaitkan dengan masa kerja, kewenangan
penentuan daerah terpencil atau tertinggal dan kriterianya, serta
pembebanan biaya pelaksanaan pengangkatan tenaga honorer menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil.
Dalam Peraturan Pemerintah ini ditegaskan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Penghasilan tenaga honorer dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah
penghasilan pokok yang secara tegas tercantum dalam alokasi
belanja pegawai/upah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dalam . . .
- 2 -
Dalam hal penghasilan tenaga honorer tidak secara tegas tercantum
dalam alokasi belanja pegawai/upah pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, maka
tenaga honorer tersebut tidak termasuk dalam pengertian dibiayai
oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Misalnya, dana bantuan
operasional sekolah, bantuan atau subsidi untuk kegiatan/
pembinaan yang dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau yang
dibiayai dari retribusi.
2. Instansi pemerintah adalah:
a. Instansi pemerintah pusat yang organisasinya ditetapkan dengan
Peraturan Presiden dan/atau Pejabat Pembina Kepegawaian yang
bersangkutan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri
yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur
negara.
b. Instansi pemerintah daerah yang organisasi atau perangkat
daerahnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah berdasarkan
pedoman yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemerintah ini badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, koperasi pegawai, sekretariat Korps Pegawai
Republik Indonesia, yayasan, desa, Komite Olahraga Nasional Indonesia,
Dewan Kerajinan Nasional, Dharma Wanita, Palang Merah Indonesia
dan sebagainya yang sejenis, tidak termasuk pengertian instansi
pemerintah pusat atau instansi pemerintah daerah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 3
Ayat (1)
Tenaga honorer yang ditentukan dalam ayat ini
menunjukkan prioritas jenis tenaga honorer yang dapat
diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Tenaga . . .
- 3 -
Tenaga teknis lainnya pada huruf d dalam ayat ini adalah
tenaga teknis yang bersifat operasional dalam rangka
pelaksanaan tugas pokok instansi dan bukan tenaga
administratif.
Ayat (2)
Huruf a
Penentuan usia dalam pengangkatan tenaga honorer
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil untuk mengisi
formasi tahun 2005, berusia paling tinggi 46 (empat
puluh enam) tahun dan paling rendah 19 (sembilan
belas) tahun pada 1 Januari 2006, dengan ketentuan
batas usia paling rendah setiap tahun ditambah 1
(satu) tahun untuk pengisian formasi setiap tahun
berikutnya sampai dengan tahun 2009.
Huruf b
Penentuan masa kerja sebagai tenaga honorer untuk
mengisi formasi tahun 2005, mempunyai masa kerja
paling sedikit 1 (satu) tahun pada keadaan 31
Desember 2005, dengan ketentuan masa kerja paling
rendah setiap tahun ditambah 1 (satu) tahun untuk
pengisian formasi setiap tahun berikutnya sampai
dengan tahun 2009.
Dalam hal terdapat tenaga honorer yang mempunyai
masa kerja terputus, maka yang dihitung penuh
sebagai persyaratan dalam penentuan pengangkatan
tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
adalah masa kerja terakhir secara terus menerus.
Masa kerja sebelumnya akan dihitung sebagai masa
kerja golongan dalam menetapkan gaji pokok.
Ayat (3)
Khusus bagi Dokter yang telah selesai menjalani masa
bakti sebagai pegawai tidak tetap, dan pada saat
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005,
telah menjadi tenaga honorer pada sarana pelayanan
kesehatan instansi pemerintah, meskipun masa kerjanya
tidak terus menerus, maka masa kerja sebagai pegawai
tidak tetap dihitung penuh untuk persyaratan
pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 4 . . .
- 4 -
Pasal 4
Ayat (1)
Tenaga honorer yang mempunyai masa kerja lebih banyak
menjadi prioritas pertama untuk diangkat menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil. Dalam hal terdapat beberapa tenaga
honorer yang mempunyai masa kerja yang sama, tetapi
jumlah tenaga honorer melebihi lowongan formasi yang
tersedia, maka diprioritaskan untuk mengangkat tenaga
honorer yang berusia lebih tinggi.
Dalam hal terdapat tenaga honorer yang usianya
menjelang 46 (empat puluh enam) tahun, maka yang
bersangkutan menjadi prioritas pertama untuk diangkat
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Pengertian “menjelang
usia 46 (empat puluh enam) tahun” yaitu apabila dalam
tahun anggaran berjalan yang bersangkutan tidak
diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, maka untuk
tahun anggaran berikutnya menjadi tidak memenuhi
syarat untuk diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
karena telah berusia lebih dari 46 (empat puluh enam)
tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Pada prinsipnya ketentuan ini menghendaki agar setiap
sarana pelayanan kesehatan instansi pemerintah memiliki
tenaga dokter sesuai dengan standar kebutuhan
kesehatan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Untuk itu,
penentuan suatu sarana pelayanan kesehatan instansi
pemerintah yang letaknya terpencil atau tertinggal
diserahkan kepada Bupati/Walikota dengan
memperhatikan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan.
Penentuan . . .
- 5 -
Penentuan suatu sarana pelayanan kesehatan terpencil
atau tertinggal berdasarkan ketentuan ini didasarkan pada
tingkat kesulitan yang ada pada masing-masing daerah.
Dengan demikian, kriteria sarana pelayanan kesehatan
terpencil atau tertinggal antara satu daerah dengan daerah
lain mengikuti karakteristik dan kebutuhan daerah.
Dokter yang dapat diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri
Sipil dalam ketentuan ini adalah dokter yang sebelum atau
pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2005 telah selesai atau sedang melaksanakan tugas
sebagai pegawai tidak tetap atau sebagai tenaga honorer
pada sarana pelayanan kesehatan instansi pemerintah.
Ayat (2)
Bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penentuan
sarana pelayanan kesehatan terpencil atau tertinggal
ditetapkan oleh Gubernur.
Pasal 6
Ayat (1)
Pentahapan ini disesuaikan dengan jumlah lowongan
formasi yang ditetapkan dengan memperhatikan
kemampuan keuangan negara.
Ayat (2)
Tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah
dan penghasilannya tidak dibiayai oleh Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, baru dapat diangkat menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil apabila semua tenaga honorer yang
dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah seluruhnya
secara nasional telah diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil sebelum Tahun Anggaran 2009.
Dengan . . .
- 6 -
Dengan demikian, apabila masih terdapat tenaga honorer
yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah belum
diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sampai Tahun
Anggaran 2009, maka tenaga honorer yang tidak dibiayai
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah tidak dapat diangkat
sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil.
Apabila sebelum Tahun 2009 secara nasional tenaga
honorer yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
telah selesai seluruhnya diangkat sebagai Calon Pegawai
Negeri Sipil, maka tenaga honorer yang tidak dibiayai
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yang bekerja pada
instansi pemerintah dapat diangkat menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan kebijakan nasional,
berdasarkan formasi, analisis kebutuhan riil, dan
kemampuan keuangan negara.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 13A
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pengangkatan tenaga dokter dan bidan sebagai pegawai tidak
tetap yang berlaku sebelum ditetapkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005, yaitu:
a. Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1991 tentang
Pengangkatan Dokter sebagai Pegawai Tidak Tetap Selama
Masa Bakti; dan
b. Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1994 tentang
Pengangkatan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4743